20 Jan 2010

Jaksa Penuntut Umum Tuntut Antasari Azhar Hukuman Mati


Antasari Azhar cs harus menghadapi ancaman hukuman maksimal. Dalam sidang kasus pembunuhan Dirut PT Putra Rajawali Banjaran (PRB) Nasrudin Zulkarnaen di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan kemarin, jaksa penuntut umum (JPU) menuntut tiga terdakwa, Antasari Azhar, Sigid Haryo Wibisono, dan Wiliardi Wizar, dengan hukuman pidana mati. Seorang terdakwa lainnya, Jerry Hermawan Lo, dituntut hukuman pidana 15 tahun.

Jaksa menilai, Antasari yang juga mantan ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana turut melakukan perbuatan dan membujuk orang lain melakukan pembunuhan berencana terhadap Nasrudin. ''Menjatuhkan pidana atas terdakwa Antasari Azhar dengan pidana mati,'' kata JPU Cirus Sinaga di ruang sidang Prof H Oemar Seno Adji kemarin (19/1).

Hal itu, lanjut Cirus, sesuai dengan pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo pasal 55 ayat (1) ke-2 KUHP jo pasal 340 KUHP yang didakwakan kepada Antasari. Yang menarik, dalam pertimbangannya, jaksa menyertakan sepuluh hal yang memberatkan Antasari, tanpa ada satu pun hal yang bisa meringankan pria kelahiran Pangkal Pinang, Bangka, itu. ''Tidak ditemukan hal-hal yang meringankan dalam persidangan,'' kata Cirus.

Sepuluh hal yang memberatkan tersebut, antara lain, mempersulit persidangan, selalu membuat gaduh, perbuatan pidana pembunuhan dilakukan secara terorganisasi, dan berupaya menggiring perbuatan itu sebagai rekayasa atau konspirasi dengan maksud agar citra penegak hukum rusak. Kemudian, perbuatan dilakukan bersama oknum perwira Polri dan oknum pengusaha pers. ''Perbuatan terdakwa telah menurunkan citra dan mempermalukan aparat penegak hukum,'' beber Cirus.

Pertimbangan memberatkan lainnya, terdakwa tidak memberikan contoh yang baik kepada para penegak hukum. Kemudian, korban adalah salah seorang pejabat BUMN, menghilangkan kebahagiaan orang tua, istri-isti, anak-anak, dan keluarga korban, serta menimbulkan penderitaan lahir batin. Antasari yang menyimak dengan seksama hanya termangu mendengar uraian jaksa. Sesekali dia tampak menggeleng.

Jaksa memaparkan dalam tuntutannya bahwa perbuatan terdakwa dilakukan bersama-sama dengan terdakwa lain, yakni Sigid dan Wiliardi. Lewat serangkaian panjang pemeriksaan di persidangan, diperoleh keterangan-keterangan saksi yang bersesuaian dengan alat bukti. Ketiganya bersepakat untuk melakukan permufakatan jahat melakukan pembunuhan.

''Diperoleh petunjuk bahwa Antasari Azhar, Sigid Haryo Wibisono, dan Wiliardi Wizar telah membujuk saksi Edo (Eduardus Noe Ndopo Mbete) untuk melakukan pembunuhan berencana terhadap Nasrudin Zulkarnaen,'' urai jaksa Juniman Hutagaol.

Dalam tuntutan setebal 600 halaman itu, jaksa juga menyangkal pengakuan Antasari yang tidak merasa terganggu dan takut dengan ancaman yang diterimanya. Sebab, posisi Antasari saat itu menjabat ketua KPK yang dinilai jaksa sedang dalam masa-masa bagus.

Jaksa menunjuk fakta bahwa setelah menerima teror melalui telepon di Bali, terdakwa kembali ke Jakarta dan menyampaikan kepada Sigid. Saat pemeriksaan terdakwa, lanjut jaksa, Antasari merasa nyaman setelah ada tim bentukan Kapolri yang diketuai Kombespol Chaerul Anwar. ''Menjadi sesuatu yang tidak logis dengan mengatakan nyaman setelah ada tim bentukan Kapolri, namun sebelumnya mengatakan tidak takut dan terganggu,'' terang jaksa.

Menurut jaksa, peristiwa di kamar 803 Hotel Gran Mahakam yang melibatkan Rani Juliani merupakan sebuah skandal besar. Hal itu bisa memalukan diri Antasari sebagai pimpinan salah satu lembaga penegak hukum. Karena itu, menurut jaksa, Antasari dengan berbagai upaya mencoba membungkam orang yang mengetahui skandal itu. ''Terdakwa berusaha sekuat tenaga agar insiden itu tidak mencuat ke publik,'' kata Cirus.

Apalagi, korban Nasrudin mengancam akan melaporkan peristiwa di kamar 803, yang menurut jaksa dibumbui dengan praktik pelecehan seksual, kepada DPR. ''Maka, tak ada cara lain selain membungkam korban,'' ungkapnya.

Namun, lanjut jaksa, sebagai seorang penegak hukum, Antasari tahu betul bagaimana caranya agar rencananya berjalan lancar dan rapi. ''Terdakwa tidak ingin terjerat oleh hukum dan tidak ingin tangannya dikotori darah,'' urai Cirus.

Kemudian, dilakukan konsiprasi dan permufakatan jahat yang melibatkan pengusaha media Sigid Hariyo Wibisono dan mantan Kapolres Jaksel Wiliardi Wizar. Rangkaian perbuatan kemudian berlanjut dari ketiganya, Jerry Hermawan Lo, hingga Eduardus Noe Ndopo Mbete yang mencari para eksekutor lapangan. ''Ketiganya bersepakat untuk melakukan permufakatan jahat,'' terangnya.

Di ruang sidang terpisah, Sigid juga diancam dengan hukuman mati. Itu sesuai dengan pasal yang didakwakan, yakni pasal 55 ayat (1) ke-1 jo pasal 55 ayat (1) ke-2 jo pasal 340 KUHP. JPU dalam perkara Sigid, Indra Gunawan, menilai bahwa Sigid ikut dalam pembujukan melakukan pembunuhan berencana.

Sigid dinilai berperan dengan mengusahakan orang untuk menghabisi Nasrudin, yakni dengan meminta bantuan Wiliardi Wizar. Senada dengan pertimbangan dalam tuntutan Antasari, tidak ada hal meringankan yang ditemukan dalam persidangan Sigid. JPU menilai pria kelahiran Semarang itu berbelit dalam memberikan keterangan dan tidak menyesali perbuatannya.

Sementara itu, Wiliardi yang juga dituntut hukuman mati dinilai secara sah dan meyakinkan bersalah sesuai dengan pasal 55 ayat (1) ke-1 jo pasal 55 ayat (1) ke-2 jo pasal 340 KUHP. Jerry Hermawan Lo dituntut 15 tahun penjara karena perannya memudahkan terjadinya pembunuhan berencana. Yakni, menghubungkan Wiliardi dengan Eduardus Noe Ndopo Mbete yang kemudian berlanjut dengan mencari eksekutor. Perbuatan Jerry sesuai dengan pasal 56 ke-2 KUHP jo pasal 55 ayat (1) ke-2 KUHP jo pasal 340 KUHP.

Setelah sidang, kuasa hukum keempat terdakwa menilai tuntutan jaksa berlebihan. Kuasa hukum Antasari, misalnya. Meski sebelumnya sudah mendengar kabar adanya tuntutan hukuman maksimal, hal itu dinilai cukup mengagetkan. ''Itu sangat mengejutkan. Apalagi, tidak ada hal-hal yang meringankan. Padahal, kita tahu, Antasari sebagai ketua KPK, mengabdi kepada negara, banyak jasanya,'' kata M. Assegaf, salah seorang kuasa hukum Antasari.

Hal-hal yang bisa meringankan, lanjut dia, sama sekali tidak disinggung jaksa. Demikian juga, fakta persidangan yang meringankan. ''Semua dikesampingkan begitu saja oleh jaksa karena semangatnya adalah untuk menghukum,'' ungkap pengacara senior itu.

Santrawan T. Paparang, kuasa hukum Wiliardi, justru mengatakan bahwa seharusnya kliennya mendapatkan tuntutan bebas. Itu jika jaksa mau fair mengakui apa yang muncul sebagai fakta persidangan. ''Tuntutan jaksa terlalu bernafsu, over acting, dan manipulatif. Tidak mendasarkan pada fakta persidangan yang sesungguhnya,'' kata Santrawan dengan nada tinggi.

Begitu juga pendapat Sholeh Amin, kuasa hukum Sigid. Menurut dia, tidak ada satu pun yang mengatakan peran Sigid dam pembunuhan Nasrudin. ''Jaksa mengacu pada petunjuk-petunjuk, tidak berdasarkan alat bukti yang kuat,'' kata Sholeh.

Menurut dia, dalam pertemuan Sigid, Antasari, dan Wiliardi di rumah Sigid, tidak ada pembicaraan tentang rencana pembunuhan. ''Hanya investigasi," tegasnya.

Pada awal persidangan dengan terdakwa Antasari, majelis hakim yang diketuai Herri Swantoro mengungkapkan, PN menerima permohonan penggabungan perkara yang diajukan Irawati Arinda, istri kedua Nasrudin. Permohonan diterima pada 15 Januari. ''Permohonan ganti rugi material dapat digabungkan. Majelis sudah membuat surat penetapannya,'' kata Herri. Permohonan tersebut terkait ganti rugi perawatan korban selama di rumah sakit.

Sementara itu, tuntutan hukum­an mati terhadap Antasari cs di­sambut gembira keluarga Nasrudin di Ma­kas­sar. Keluarga meng­anggap, tun­tutan jaksa tersebut wajar. Me­nurut pandangan mere­ka, An­tasari dkk berperan sebagai dalang alias aktor intelektual pembunuhan Nasrudin. "Kami tentu saja gembira dengan tuntutan ter­s­ebut. Selayaknya, terdakwa men­dapat hukuman setimpal atas tindakan pembunuhan berencana itu,'' kata adik Nasrudin, Andi Syamsuddin Iskandar, di kediamannya di perumahan BTN Tabaria Blok A3, Makassar, kemarin. Syamsuddin dan kerabat lain Nasrudin beserta kelompok mahasiswa dan LSM menyaksikan sidang tuntut­an yang disiarkan live melalui siaran televisi swasta.

Menurut Syamsuddin, jika para eksekutor divonis hingga 20 ta­hun, secara otomatis aktor intelektual harus dituntut lebih be­rat. Alasannya, Antasari cs harus le­bih bertanggung jawab atas insiden yang menewaskan kakak kandungnya tersebut. "Eksekutor hanya melakukan apa yang diperintahkan. Artinya, sangat wajar kalau jaksa menuntut terdakwa (Antasari cs) dengan hukuman mati,'' imbuhnya.

Syamsuddin mengatakan, setelah sidang tuntutan, keluarga akan fokus pada proses penjatuh­an putusan. Dia mengharapkan, majelis hakim yang menangani kasus itu mengabulkan tuntutan jaksa dengan menjatuhkan hukuman mati. "Kami minta, hakim bisa fair terhadap tuntutan jaksa karena itu adalah harapan tertinggi dari keluarga. Hakim harus juga memperhatikan penderi­taan atas hilangnya anggota ke­luarga yang sangat kami cintai,'' pinta Syamsuddin.

Dia menegaskan, keluarga dibantu kalangan LSM dan mahasiswa mengawal proses persidangan hingga Antasari dkk divonis mati. "Kami tidak melakukan intervensi kepada hakim. Kami hanya meminta majelis hakim tidak mencederai penengakan hukum dalam kasus ini,'' ujarnya.

Dia menepis isu bahwa keluarga selama ini terus mendapatkan intimidasi berupa teror dari beberapa kalangan tertentu. Me­nurut Syamsuddin, sangat naif jika pihaknya selaku korban mendapatkan intimidasi tersebut. "Sejauh ini tidak ada teror yang datang ke keluarga kami. Kami tetap santai dan terus mengikut perkembangan sidang,'' ujarnya.

Pada bagian lain, kondisi ibu kan­dung Syamsuddin, Muliati, dikabarkan terus mengalami guncangan psikis yang berat. Karena itu, keluarga tidak mengizinkan wa­nita paro baya itu menonton televisi, apalagi yang terkait dengan kasus anaknya. "Dia (Muliati) kadang drop sehingga kami larang untuk menonton televisi. Untuk sementara kami ungsikan di rumah keluarga yang lain," jelas Syamsuddin.

0 komentar:

Posting Komentar