19 Jan 2010

Banyak Pendatang Baru yang Bukan Nasionalis, Guruh Bertekad Bersihkan PDIP

Guruh Soekarno Putra sangat serius untuk maju menjadi calon ketua umum PDIP. Putra bungsu pasangan Bung Karno-Fatmawati itu terdorong maju karena melihat banyak pendatang baru di partai yang bukan nasionalis dan Pancasilais sejati.

Bahkan, sambung Guruh, tak jarang ideologi yang mereka anut justru kapitalis liberal. ''Semua masuk tumplek ke PDIP. Akibatnya, partai ini dalam keadaan yang memprihatinkan. Terutama orang-orang di sekitar Ibu (Megawati, Red) yang perlu dipertanyakan,'' ujarnya kepada Jawa Pos kemarin.

Apakah Guruh akan membentuk parpol baru bila gagal mengalahkan Mega? Guruh belum memastikan hal itu bila terjegal dalam Kongres III PDIP nanti. Dia mengatakan masih berharap bisa menggunakan PDIP sebagai alat perjuangan.

''Soal itu (membentuk partai baru, Red) kita lihat nanti,'' kata Guruh saat dihubungi Jawa Pos tadi malam (17/1). Menurut dia, PDIP memang dalam keadaan sakit. Pangkal persoalannya, banyak pendatang baru di PDIP yang sebenarnya bukan nasionalis dan Pancasilais sejati.

Dalam konteks itu, Guruh mengatakan ingin mencoba terlebih dahulu memperbaikinya agar bisa kembali menjadi alat yang ampuh untuk memperjuangkan kepentingan rakyat.

''Kalau alat perjuangan ini sakitnya sudah fatal, tentunya saya akan menempuh cara-cara lain,'' tegasnya.

Apa cara lain itu ? ''Ya, tunggu nanti lah,'' jawab anggota Komisi X DPR itu, lantas tertawa.

Selama ini perpecahan memang kerap mewarnai kongres PDIP. Sejarah membuktikan bahwa semua penantang Megawati dalam perebutan kursi ketua umum selalu terpental dari punggung banteng moncong putih. Tak jarang, mereka lantas membentuk partai baru.

Kongres I PDIP di Semarang pada 2000 memunculkan Erros Djarot yang menyempal dengan membentuk PNBK. Ada juga Dimyati Hartono yang kecewa dan mendirikan Partai Indonesia Tanah Air Kita (PITA). Saat Kongres II PDIP di Bali pada 2005, kembali muncul ''penentang Megawati'' yang dimotori Laksamana Sukardi, Arifin Panigoro, dan Roy B.B. Janis. Belakangan mereka membentuk Partai Demokrasi Pembaruan (PDP).

Guruh sendiri sebenarnya bukam baru kali ini berusaha maju. Saat Kongres II PDIP, nama Guruh sudah cukup menguat. Tapi, langkahnya terganjal sebelum sempat bertarung di kongres. Kabarnya, dia diganjal sejumlah pendukung Megawati.

''Sepanjang 2003-2004 sudah cukup marak di bawah yang mendukung saya. Mulai ranting hingga DPC sudah menyatakan aspirasinya agar saya maju. Tapi, ya panjanglah ceritanya,'' tutur pria kelahiran Jakarta, 13 Januari 1953, itu. Guruh enggan menceritakan kembali proses terganjalnya dirinya di Kongres Bali.

Lebih lanjut, Guruh tidak gentar dengan opini yang dibangun sejumlah petinggi DPP PDIP bahwa Megawati tetap dominan. Guruh menyebutkan, dukungan terhadap dirinya memang datang dari bawah. ''Pendukung saya lebih di grass root. Kalau lebih ke elite, memang demikian keadaannya,'' kata Guruh.

Dia menambahkan, pihak-pihak yang menginginkan status quo memang akan terus mendorong Megawati tampil sebagai ketua umum. Megawati sendiri, ungkap Guruh, adalah seorang pejuang dan negarawan yang tidak mungkin menolak dengan alasan capai atau ingin pensiun.

''Selama Ibu (Megawati, Red) masih diminta, beliau pasti tidak akan menolak. Sampai seratus tahun pun; beliau tidak akan pernah menolak. Komitmen ini yang dilihat pihak-pihak pro status quo sebagai kesempatan untuk terus mempertahankan dirinya agar tidak sampai tergeser,'' kritik Guruh, tajam.

0 komentar:

Posting Komentar